Mengganti Masya Allah Dengan Yang Lain





“Masya Allah, pamanmu punya bini muda lagi?!”

“Astaga, mahal amat baju ini! Nggak sanggup beli, deh!”
“Ya Ampun, aku membeli kamus yang tidak berguna!”

Tidak jarang kita mendengar ucapan-ucapan di atas di keseharian kita, kita mendengarnya di keluarga kita, masyarakat kita, di media masa, dan saluran-saluran televisi, bahkan telah menjadi menu wajib di perkumpulan ibu-ibu yang suka ngrumpi. Bagaimanakah islam memandang ucapan-ucapan tersebut? 

Sebelum menjawab hal itu, kita harus tahu bagaimana Islam mengajarkan kepada kita beberapa ucapan dan dzikir pada kondisi-kondisi tersebut. Berikut ini beberapa dzikir dan ucapan yang dijelaskan dalam sunah, antara lain:

Ketika seseorang melihat sesuatu yang tidak ia sukai atau sesuatu yang mengecewakan karena telah keluar dari rencana dia, maka disunahkan berkata



(قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ) atau (الـحَمْدُ للـهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ).

Hal berdasarkan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah. Dan pada keduanya terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah atas perkara yang bermanfaat dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu yang kamu benci, maka janganlah kamu berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, niscaya akan demikian, namun ucapkanlah, “Ini adalah takdir Allah dan Allah melakukan apa yang Ia kehendaki”. Sesungguhnya ucapan “Seandainya” hanya membuka perbuatan setan.”

Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berkata,

كَانَ ^ إذَا أَتَاهُ الأمْرُ يَسُرُّهُ، قَالَ: الـحَمْدُ للـهِ الَّذِي بِنِعْمَتهِ تَتِمُّ الصَّالِـحَاتُ، وإذَا أتَاهُ الأمْرُ يَكْرَهُهُ، قَالَ: الـحَمْدُ للـهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – apabila mendapatkan perkara yang disukai berkata, “Alhamdulillah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna”, dan apabila mendapatkan perkara yang dibenci beliau berkata, “Alhamdulillah atas segala kondisi.” (Shahihul Jami 4/201 no: 4640)

Ketika seseorang tertimpa musibah, maka ia mengucap:

(إنَّا للـهِ وإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أجُرْنِي فِي مُصِيْبَتي، وأخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهَا)

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – :

ماَ مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ: =إنَّا للـهِ وإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أجُرْنِي فِي مُصِيْبَتي، وأخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهَا إلا أجَرَهُ الله في 

مُصِيْبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْراً مِنْهَا

“Tidaklah seorang hamba tertimpa musibah lalu mengucap, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya, Ya Allah berikanlah kepada kami pahala atas musibahku dan gantilah dengan yang lebih baik darinya’ melainkan Allah akan memberikan pahala kepadanya dan menggantikannya dengan yang lebih baik.” (Diriwayatkan oleh Muslim 2 /632)

Ketika seseorang kagum terhadap ciptaan Allah, kemudian ia merenunginya dan tambah yakin akan kekuasaan Allah, maka disunahkan mengucap (سُبْحَانَ الله) atau (الله أكبر).

Allah berfirman :

“(yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (Ali Imran : 191)

Suatu hari, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bertemu dengan Abu Bakar yang sedang junub, maka Abu Hurairah menghindari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu pergi dan mandi kemudian kembali mendatangi nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bertanya kepadanya, “Di mana kamu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Aku sedang junub, aku tidak suka duduk bersamamu sedangkan saya tidak dalam keadaan suci.” Beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjawab,

سُبْحَانَ الله، إِنَّ اْلُمسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

“Subhanallah (Maha Suci Allah), sesungguhnya seorang Muslim tidak najis.”

Ketika seseorang kagum terhadap keadaan dirinya, hartanya, atau anaknya, maka ia mengucap (مَا شَاءَ اللَّهُ) atau (مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّه). Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالا وَوَلَدًا

“Dan mengapa kamu ketika memasuki kebunmu berkata, ‘Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.’ Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (al-Kahfi : 39)

Syekh Assa’di berkata, “Seyogianya seorang hamba ketika merasa senang dan kagum terhadap hartanya atau anaknya menyandarkan kenikmatan tersebut kepada yang memberi nikmat dengan berkata (مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّه) agar ia menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah dan menjadi sebab terjaganya kenikmatan tersebut.” (Tafsir Assa’di hal: 299)

Dan jika kagum terhadap keadaan, harta, anak dan sesuatu milik orang lain, maka ia
mengucap (مَا شَاءَ اللَّهُ ، بارك الله في هذا … ). Hal ini berdasarkan sabda Nabi,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

“Jika salah seorang di antara kalian melihat saudaranya atau padanya atau hartanya yang mengagumkanmu, hendaklah ia memohon barokah kepada Allah baginya, sesungguhnya penyakit ain itu nyata” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad III/447 dan dishahihkan oleh al Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no 2572)

Ibnu Katsir berkata, “Sebagian salaf berkata, barangsiapa kagum terhadap kondisinya, hartanya, atau anaknya, hendaklah ia mengucap (مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلا بِاللَّه). (Tafsir ibnu Katsir IX/138)

Dan ketika seseorang terjerumus dalam dosa atau kamaksiatan, maka hendaklah ia taubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan beristighfar kepada-Nya.

Dari beberapa keterangan tadi, kita mengetahui beberapa ucapan dan dzikir yang disunahkan untuk dilafalkan ketika dalam kondisi senang, tertimpa musibah, kagum dan lain sebagainya. Jika kita bandingkan, dengan beberapa contoh ungkapan yang banyak mengalir di lisan orang-orang sekitar kita, niscaya kita mendapatkan beberapa kejanggalan atau kesalahan, yaitu :

1. Menggunakan lafal masya Allah saat melihat sesuatu yang buruk terjadi.
Contohnya: “Masya Allah, anda kenapa, kok sampai pingsan?!”, padahal seharusnya ucapan itu diucapkan ketika seseorang merasa kagum terhadap kenikmatan pada dirinya sendiri, dan jika melihat kenikmatan orang lain dan kagum terhadapnya disunahkan dengan menambah doa keberkahan baginya, yaitu dengan mengucap
(مَا شَاءَ اللَّهُ ، بارك الله في هذا …)

2. Mengganti lafal masya Allah, subhanallah, dan allahu akbar, dengan ungkapan-ungkapan seperti “ya ampun”, “buset”, “gile”, dan yang semisalnya. Hal seperti tentunya tidak diperkenankan, karena Islam telah memberikan ungkapan-ungkapan yang jauh lebih baik dan sempurna.

Dengan mengucap “masya Allah” ketika kagum terhadap sesuatu, maka ia ingat kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya, karena semua keindahan dan kenikmatan tersebut terwujud berkat kehendak Allah, jika Allah tidak berkehendak niscaya tidak akan pernah terwujud. Lain halnya dengan ungkapan-ungkapan lainnya yang dijadikan pengganti, tidak memiliki arti.

3. Mengubah lafal “astaghfirullah” dengan “astaga” atau malah “astaganaga”.
Ketika seseorang berbuat salah, secara spontanitas ia berkata “astaghfirullah”. Secara umum, tidak masalah seseorang mengucap lafal ini. Namun, yang harus diperhatikan, janganlah ucapan seperti ini hanya sebatas pada lisan saja, namun harus diikuti dengan perbuatan. Yaitu tidak mengulangi perbuatan salah tersebut. Jika ucapan ini hanya pada lisan, maka sesungguhnya ucapan ini adalah ucapan istighfar yang masih membutuhkan istighfar lagi. Artinya, ia harus beristighfar kepada Allah, karena istighfarnya hanya pada lisan saja.

Bagaimana bila diganti dengan “astaga” atau “astaganaga”? Ketahuilah, singkatan semacam ini tidak dikenal dalam bahasa Arab dan tidak memiliki arti. Jadi, seseorang tidak boleh mengganti ucapan “astaghfirullah” dengan ucapan tersebut.

Kalau sudah terbiasa dengan lafal-lafal yang tidak syar’i ?

Agar kita selalu memerhatikan ungkapan-ungkapan yang telah diajarkan islam, maka kita harus membiasakan diri dengan lafal-lafal yang datang dari syariat, dan selain itu kita harus selalu kita ingat, bahwa bahaya lisan sangatlah besar, tidak ada yang selamat dari keburukan lisan kecuali orang yang menggunakan lisan untuk berbicara yang baik.

Muadz bin Jabal berkata kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – , “Ya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – , apakah kita akan dihukum atas apa yang kita ucapkan? Beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjawab, “Dan tidaklah manusia itu diseret di neraka di atas muka-muka mereka melainkan disebabkan oleh perbuatan lisan mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi)

Untuk menjaga lisan dari berbicara yang tidak bermanfaat, maka kita harus memerhatikan kaidah-kaidah dalam memilih ucapan, yaitu yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim – rahimahullah -, beliau berkata,

“Adapun ucapan-ucapan yang keluar dari lisan harus dijaga, yaitu dengan tidak mengucap ucapan yang sia-sia, tidak berbicara melainkan perkataan yang mendatangkan manfaat dalam agamanya, jika ia ingin berbicara, maka ia akan memperhatikan terlebih dahulu, apakah bermanfaat atau tidak , jika tidak bermanfaat maka ia menahan diri darinya, jika bermanfaat, maka ia harus melihat apakah ada kalimat lain yang lebih bermanfaat atau tidak” (al-Jawabul Kaafi hal 230-234)

Demikian, semoga kita termasuk orang-orang yang menggunakan lisan kita dalam kebaikan dan mampu menjaganya dari ucapan-ucapan buruk atau yang tidak bermanfaat. Wallahu a’lam. (***)

Penulis: Ustadz Abu Rufaid Agus Suseno, Lc
Sumber: Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Sakinah Vol. 11 No. 10/Ilustrasi: apakes.com


Contributors

Powered by Blogger.

Blog Archive