Suami ringan tangan adalah idaman bagi
semua istri. Inilah sosok yang sedikit berkata, tapi banyak bertindak
untuk kebaikan istri dan anak-anaknya.
Mungkin, suami ringan tangan tak setampan
bintang film Hollywood ataupun sekekar aktor Bollywood. Tapi, ia amat
memesona bagi istri, anak-anak, maupun anggota keluarga lainnya.
Maka, jadilah suami yang ringan tangan. Niatkan dan upayakan secara optimal sesuai kemampuan terbaik.
Suami ringan tangan ialah sosok lelaki
yang tak sungkan memasak air untuk membuat minuman bagi istri, anak-anak
maupun anggota keluarganya. Bentuknya tak mewah; mungkin hanya teh
manis, kopi kental, maupun susu legit. Atau, jenis minuman lainnya.
Minuman yang diseduh dengan senang hati
dan tanpa permintaan itulah lambang ketulusan hati; sehingga ia dan
keluarganya akan semakin bahagia.
Bentuk yang lain suami ringan tangan
adalah ia yang tak segan-segan melakukan amalan fisik berupa
bersih-bersih. Tak selalu berat ataupun banyak. Mungkin bisa dengan
mencuci piring bekas makannya sendiri dan sesekali membersihkan piring
dan gelas bekas makan anak dan istrinya.
Bisa juga dengan kegiatan membersihkan kamar mandi, menguras bak, ataupun menyapu lantai, dilanjutkan dengan mengepelnya.
Dalam kesempatan lain, jika memang ada
waktu luang, tak perlu sungkan untuk memasak bagi istri dan keluarga
yang kita cintai. Lagi-lagi, persembahan cinta tak perlu meninggi langit
atau mendalam samudera. Ia hanya perlu dilakukan dengan ketulusan dan
kesungguhan untuk memberikan yang terbaik untuk mereka yang kita cintai.
Sehingga bentuknya, bisa hanya sekadar
menanak nasi, ikut mengulek rempah-rempah untuk dijadikan sambal, atau
mencoba resep masakan paling sederhana yang ia ketahui. Entah sekadar
menyajikan dadar telur, tempe dan tahu goreng, ataupun mie rebus.
Kemudian, sebab penggunaan fasilitas
hidup yang ditempati bersama, maka seorang suami ringan tangan tak
pernah keberatan untuk bergantian merapikan tempat tidur. Ia mengambil
bagian giliran tepat ketika istrinya sibuk, atau saat ia bangun
terakhir.
Termasuk di dalamnya, sang suami ringan
tangan senantiasa memberi contoh; jika ada sampah, ia yang pertama kali
memungut, meletakkan di tempat sampah, kemudian membuangnya di tempat
akhir; jika ada yang berantakan, maka ia upayakan tempat terbaik untuk
meletakkan, dan mudah dilihat oleh anggota yang lain; dan sebagainya.
Tentu, ini tak perlu mengabaikan tugas
utamanya sebagai pencari nafkah. Bukankah sesibuk-sibuknya suami, ia
pastilah memiliki hari libur? Maka, lagi-lagi, dalam hal ini hanya
dibutuhkan ketulusan dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik
untuk mereka yang kita cintai.
Bukankah Nabi yang mulia juga turut
membantu istrinya saat di rumah? Apa kemudian dalih “Saya bukan Nabi”
akan digunakan pula agar terlepas dari seluruh aktivitas membantu istri
dan mempersembahkan kebaikan-kebaikan kecil bagi anak-anak dan keluarga
kita? [keluargacinta.com]