A. Para wanita sholihah dan mujahidah
1. Rabi’ah Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. la senantiasa dimintai sebuah fatwa dari beberapa pembesar-pembesar sufi masanya. Rasa ketakutannya kepada Allah telah menjadikannya sebagai seorang wanita yang senantiasa menangis. Ini tampak sekali di saat ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan Neraka dihadapannya, ia langsung berteriak dan tersungkur kerana rasa ketakutannya terhadap api neraka. la senantiasa melakukan shalat malam secara penuh. Ketika fajar mulai menjelang, ia tidur sebentar ditempat shalatnya hingga pagi tiba.
Pada suatu waktu, datang seorang laki-laki memberikan uang sebanyak 40 dinar kepadanya. Ia berkata kepada Rabiah "gunakanlah uang ini untuk membantu keperluan-keperluanmu." Mendengar perkataan itu, Rabiah Adawiyah menangis. Ia menengadahkan mukanya ke langit, seraya berkata "Tuhan telah mengetahui, bahwa aku malu meminta barang-barang duniawi kepada-Nya, padahal la lah yang memiliki dunia ini. Oleh kerena itu, bagaimana mungkin aku akan meminta duniawi kepada orang yang sebenarnya tak memiliki duniawi itu?.
Air matanya selalu bercucuran di saat mengingat hari kematian. la laksana disambar petir di saat teringat hari kematian itu. Bahkan ia selalu merasa kaget dan merasa ketakutan sekali di saat terjaga dari tidurnya. la seraya berkata "wahai jiwaku!, berapa lama engkau tertidur dan berapa lama pula engkau dalam keadaan terjaga?. Aku benar-benar merasa ketakutan di saat engkau (jiwa) tertidur dan tak bangun lagi, sehingga yang ada dihadapanmu hanyalah hari kebangkitan."
Salah satu dari kata-kata bijaknya adalah: "sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau selalu menyembunyikan kejelekanmu." la berkata: "wahai Tuhanku, ampunilah penyelewenganku selama ini, ampunilah aku!. la meninggal dunia di Baitul Muqdis pada tahun 135 Hijriah dengan Umur lebih dari 80 tahun. la dikafankan di dalam jubahnya sendiri yang berasal dari ayaman rambut, dan tutup dari kain bulu yang senantiasa ia gunakan pada saat shalat malam. Ini semua adalah karena wasiat yang ia berikan kepada pembantunya agar ia dikafankan semacam itu. Ia juga berwasiat agar ia dimakamkan di Baitul Muqdis.
Tidaklah benar sekali jika perkataan "aku tidak menyembahmu lantaran mengharap surga-Mu dan takut atas neraka-Mu, melainkan hanya karena kecintaanku kepada-Mu", berasal dari perkataan Rabi'ah Adawiyah. Dan sangat tidak benar sekali pula, jika tasawuf Rabi'ah Adawiyah identik dengan nilai-nilai yang dianggap sesat dalam dunia sufi. Semisal, kerinduan terhadap Tuhan, Fana' (peleburan diri seorang hamba dengan Tuhannya), persaksian langsung terhadap Tuhan, dan lain sebagainya.
2. Nafisah binti Hasan
Nama lengkapanya adalah Naf isah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. la lahir di Mekkah pada tahun 145 Hijriah dan merupakan anak dari seorang wali kota di Madinah. Namun pada masa pemerintahan Ja'far Al-Mansur, ayahnya harus digeser dari kedudukannya sebagai wali kota. Hartanya dirampas dan ia pun harus meringkuk di penjara. Namun, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, jabatan dan seluruh harta bendanya yang pernah dirampas oleh Ja'far Al-Mansur, dikembalikan kembali.
la pernah pergi ke Baghdad untuk menjenguk ayahnya di saat masih dalam penjara. la telah menghafal Al-Qur'an semenjak kecil, dan sekaligus juga ikut mempelajari ilmu taf sir. la juga merupakan salah satu dari perawi Hadits. Maka tidaklah mengherankan lagi jika imam Syafi'i sendiri juga pernah meriwayatkan Hadits dari Nafisah. Dan tak hanya itu saja, imam Ahmad bin Hambal pun pernah pula meminta do'a kepada Nafisah. la menikah dengan anak pamannya yang bernama Al-Mu'tamin Ishaq bin Ja'far, dan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama dengan Qasim dan Ummu Kultsum. la di saat melakukan ibadah haji, pernah memegang kain penutup Ka'bah seraya berkata "ya Tuhanku, ya Tuanku, ya Majikanku, senangkanlah aku dengan keridhoan-Mu kepadaku." la pada masanya, dikenal sebagai wanita yang mempunyai do'a sangat mujarab.
Bibinya pernah memintanya untuk mau memperhatikan dan menyanyangi dirinya sendiri. Namun, Rabi'ah malah menjawab, "ya bibiku, barang siapa yang senantiasa berada dijalan Tuhan secara terus menerus, maka alam semesta ini akan berada ditangan dan kehendaknya pula."
la tak pernah memakan makanan selain dari harta suaminya sendiri, lantaran rasa malu dan kehatian-hatiannya memakan makanan yang tak jelas halal dan haramnya. la pernah berkunjung ke Mesir dan disambut dengan riang gembira oleh masyarakat setempat. Sehingga di saat Imam Syafi'i meninggal dunia, ia sangat berduka sekali, dan meminta agar jenazah imam Syafi'i disinggahkan di dalam rumahnya agar ia bisa menshalati Imam Syafi'i dan sekaligus mendo'akannya.
Penduduk Mesir pernah mengadukan kedzaliman bani Thalun kepada Nafisah. la lantas menyikapi pengaduan itu dengan cara menempelkan sepucuk surat di seberang jalan. la mengatakan dalam suratnya itu "Engkau semua yang telah menjadikannya raja, namun engkau semua pula telah diperbudaknya. Engkau semua yang telah memberikannya kekuatan, namun engkau semua pula yang malah ditindasnya. Engkau semua yang telah memberikannya sebuah pemerintahan, namun engkau semua yang akhirnya menyesal atas pemberian itu. Dulunya kalian semua dalam keadaan makmur, namun karenanya lah kamakmuran itu pergi. Maka ketahuilah kalian semua, berdo'a di malam hari demi sebuah kemaslahatan pasti terkabulkan. Apalagi do'a ituberasal dari hati-hati yang merasa kecewa, orang-orang yang sedang dilanda kelaparan, dan orang-orang yang sudah sangat susah sekali mendapatkan pakaian yang layak. Dan ketahuilah kalian semua, sangat mustahil sekali jika seorang dzalim masih bisa hidup di saat orang yang di dzalimi telah meninggal dunia. Dan ketahuilah (wahai pemerintah) bahwa kejahatan-kejahatan kalian selama ini, kami sikapi dengan penuh kesabaran. Berlakulah jahat terus, sehingga kita akan terus menjadi orang-orang yang teraniaya. Danbertindaklah dzalim terus, dan kita disini akan menjadi orang-orang yang terdzalimi. Dan ketahuilah,
bahwasanya orang-orang yang senatiasa berlaku dzalim suatu saat pasti akan jatuh." Membaca tulisan nafisah itu, bani Thalun merasa gemetaran dan takut, sehingga ia bersedia menjalankan sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana.
Pada akhirnya, ia merasa bahwa berada ditengah-tengah masyarakat akan mengganggu konsentrasinya dalam melakukan ibadah. la mulai memantapkan hati untuk meninggalkan Mesir dan kembali menuju Madinah. Namun, masyarakat setempat tidak ingin berpisah dengannya. Maka wali kota berusaha mencarikan jalan tengah antara keinginan masyarakat setempat dengan keinginan suci Nafisah. Oleh karena itu, wali kota mendirikan sebuah rumah untuk Nafisah yang berada jauh dari keramaian manusia, dan menjadwal hari berkunjung masyarakat kepada Nafisah, yaitu pada tiap hari sabtu dan rabu saja.
Ia menggali kuburan di dalam rumahnya sendiri di saat ia mulai merasa sakit. la senantiasa melakukan shalat dan mampu mengkhatamkan al-Qur'an sebanyak 190 kali di dalam kuburannya itu. la pernah diundang dalam sebuah jamuan, dan ditawari sebuah makanan kepadanya. Namun ia dalam keadaan puasa. la berkata kapada orang-orang tersebut, "sangat mengherankan sekali, selama 30 tahun lamanya aku meminta kepada Allah agar bisa menemui-Nya sedang aku dalam keadaan berpuasa. Apakah aku harus berbuka sekarang? Ini semua tidak akan pernah ada selamanya."
la meninggal dunia di saat membaca surat al An'am. Tepatnya pada ayat: "Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal shaleh yang selalu mereka kerjakan", (al An'am: 127). Setelah membaca ayat itu, ia lantas tertidur dan kemudian meninggal dunia. Ini terjadi pada tahun 207 Hijriah. la dimakamkan di Mesir, tepatnya di kota Kairo.
3. Hafsah binti Sirin
Ia adalah saudara perempuan Muhammad bin Sirin: seorang Tabi'in yang senantiasa beribadah dan sekaligus ahli dalam bidang fikih.
Khafasah hafal Al-Qur'an dengan sangat baik semenjak berusia 12 tahun. Bahkan Muhammad bin Sirin sendiri di saat merasa kesukaran dalam memahami sesuatu yang berhubungan dengan al Qur'an, memerintahkan kepada muridnya untuk pergi menghadap Haf sah. la berkata "menghadaplahkalian semua kepada Hafsah, dan bertanyalah kepadanya tentang bagaimana cara ia memahami permasalahannya ini (pemasalahan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an). Sebab, ia bagaikan orang yang telah meminum bahtera keilmuan yang ada dalam Al-Qur'an."
Kemuliaannya sangat dikenal oleh ulama-ulama semasanya. Terbukti dari perkataan lyyas bin Muawwiyah: "aku tak pernah melihat satu pun orang yang lebih mulia dari Hafsah binti Sirin." Khasan Basri dan bin Sirin sendiri juga mengakui, tak ada seorang pun yang bisa menandingi keutamaan Hafsah. Sehingga tidaklah mengherankan lagi, jika bin Dawud menggolongkannya sebagai wanita-wanita mulai dari kalangan para Tabi'in.
la selalu berpuasa selama setahun penuh, kecuali pada hari-hari yang tak diperbolehkan melakukan puasa.
Setiap malam ia selalu membaca separuh dari ayat-ayat al Qur'an. Ia mempunyai sebuah kain kaf an yang senantiasa ia pakai di saat menunaikan ibadah Haji maupun di saat sedang melakukan ibadah di malam kesepuluh hari terakhir pada bulan suci Ramadhan.
Salah satu dari kata-kata bijaknya adalah "wahai para pemuda, pergunakan waktumu sebaik-baiknya di saat kalian dalam keadaan muda. Sesungguhnya, aku melihat banyak sekali amal perbuatan yang bisa dilakukan oleh para pemuda."
la mengambil riwayat Hadits dari saudara laki-lakinya sendiri yang bernama Yahya, begitu pula dari Anas bin Malik, Ummu Athiah al Anshariah, dan selain dari mereka.
Sedang orang-orang yang mengambil periwayatan Hadits darinya adalah Muhammad bin Sirin, Qatadah, Asyim al Ahwal dan selainnya.
Ibni Hibban, Yahya bin Muayyan dan Ahmad bin Abdullah, menganggap Hafsah termasuk para perawi Hadits yang dapat dipercaya.
Ia meninggal dunia di Madinah pada tahun 101 Hijriah dengan usia mendekati 70 tahun.
4. Muadzah Al Adawiyyah
Gelarnya adalah Ummu Sahba'. la merupakan salah satu dari para Tabi'in yang ikut meriwayatakan Hadits Nabi. la adalah istri dari Shilah bin Asyim, seorang Tabi'in yang konon juga merupakan seorang sahabat Nabi. Abu Nairn setelah memuji Shilah bin Asyim dalam kitabnya yang berjudul Huliyah Auliaya' mengatakan "bahwa Shilah bin Asyim mempunyai seorang istri yang bernama Muadzah al Adawiyyah. la seorang wanita yang terpercaya, argumentatif, pandai dan sekaligus senantiasa melakukan ibadah."
la pernah berkata: "aku telah menjalani kehidupan di dunia ini selama 70 tahun. Selama itu pula aku tak pernah melihat sesuatu yang bisa menggembirakanhati dan mataku."
Di saat Syilah sedang terjun dalam sebuah peperangan bersama anak laki-lakinya, ia berkata "dimana anakku?" Setelah mendapatkan anaknya, ia langsung merangsak maju berperang dengan membawa anaknya, sehingga ia pun harus gugur di medan laga. Melihat musibah yang sedang dialami oleh Muadzah lantaran kematian suaminya, para wanita-wanita berkumpul pada sebuah tempat dan kemudian beranjak untuk mengunjungi Muadzah. Muadzah berkata kepada mereka " selamat datang, apabila kalian semua datang untuk menenangkanku, maka aku menerima kehadiran kalian. Dan apabila bukan karena itu, maka kembalilah."
la sangat tekun melakukan shalat malam. Dan ini sangat terkenal sekali dikalangan umat Islam waktu itu. Ia senantiasa melakukan sholat malam sampai menjelang masa sahur. Berkatalah Az-Zhahabi kepada Muadzah: "aku telah mendengar kabar bahwa engkau senantiasa melakukan ibadah malam", maka menjawablah Muadzah "aku sungguh merasa heran dengan mata yang senantiasa tertidur. Bagaimana tidak, dikuburan nanti mata kita akan senatiasa tertidur dan tak akan pernah bisa melakukan ibadah lagi."
la pernah berkata: "demi Allah, aku tak mencintai kehidupan ini kecuali karena ingin berdekatan dengan-Mu. Semoga dengan kedekatanku kepada-Mu ini, Engkau mau mengumpulkan aku kembali dengan suami dan anakku dalam surga." la sangat mencintai suaminya. la setelah ditingal mati oleh suaminya tak pernah lagi tidur diatas ranjang. la senantiasa tidur diatas lantai, dengan harapan bisa bertemu kembali dengan suaminya dalam mimpi. la meninggal dunia pada tahun 83 Hijriah.
5. Zaenab Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Zaenab Muhammad al Ghazali al Jibili. la lahir pada tahun 1917 Masehi di desa Mayyet Ghamar di sebuah propinsi yang bernama Daqhiliyyah di Mesir. Ayahnya merupakan salah satu ulama Al Azhar. la belajar di sebuah madrasah di kampung halamannya sendiri. la belajar ilmu-ilmu agama di bawah asuhan para ulama-ulama besar al Azhar. Diantara ilmu-ilmu yang ia pelajari adalah Ilmu Hadits, Tafsir, dan Fikih.
la merupakan anggota termuda dari perkumpulan wanita-wanita mesir dibawah pimpinan Hadi Sya'rawi. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perkumpulan tersebut di saat mengetahui adanya prilaku-prilaku yang tak selaras dengan ajaran Islam. Ia kemudian mendirikan komunitas wanita-wanita muslim pada tahun 1937 di Kairo. Umurnya pada saat itu masih sekitar 19 tahun.
Adapun tujuan mendirikan komunitas itu agar diterapkannya syari'at Islam dan didirikannya kekhalif ahan Islam. Pada tiap-tiap tahunnya ia selalu mengirim 340-400 delegasi untuk melakukan ibadah Haji. la sendiri yang memimpin delegasi-delegasi itu.
Tujuan pengiriman delegasi-delegasi itu adalah untuk menemui sejumlah jamaah haji yang berasal dari penjuru dunia. Delegasi-delegsi itu selalu membahas masalah-masalah pokok dalam Islam dengan para jamaah haji tersebut. Isu-isu yang selalu mereka kembangkan adalah seputar perbaikan umat Islam, mengembalikan kembali kekhalifahan Islam, dan sekaligus bagaimana membangkitkan kembali masa ke emasan Islam.
la bertemu dengan imam Syahid Hasan al Bana pada tahun 1941 Masehi. Hasan al Bana membai'at Zaenab untuk turut serta melakukan perjuangan bersama Ihwan Muslimin. Sebab, tujuan dan landasan perjuangan mereka adalah sama. Dan pada tahun 1980, ia mendirikan majalah perkumpulan wanita-wanita muslim (Sayyidah Muslimah), dan dibubarkan pada tahun 1985. la juga memimpin salah satu devisi yang ada dalam organisasi Ikhwan Muslimin. la serta merta membantu keluargaIkhwan Muslimin di saat kelompok ini di intimidasi oleh pemerintah pada tahun 1954. Dan pada tahun 1964, perkumpulannya tersebut dibubarkan oleh tentara dengan menyita harta dan kepemilikan mereka.
Pada tahun 1965, ia ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan terlibat dalam sebuah kasus yang ada pada diri Ikhwan di saat bersitegag dengan pemerintah. Pemerintah menutut kepada parlemen menjatuhi hukumi mati kepada Zaenab. la sebelum dipastikan sebagai tawanan perang, telah menerima berbagai macam siksaan dipenjara.
la akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun, dan diharuskan melakukan kerja berat selama menjalani masa hukuman. la menulis kesengsaraannya itu dalam sebuah buku yang berjudul "Ayyam min Hayyati" (hari-hari dalam kehidupanku).
Melalui bantuan raja Faisal dari Arab Saudi, sekitar pada tahun tujuh puluhan, keluarlah ketetapan dari pemerintahan Anwar Sadat untuk membebaskan Zaenab dari penjara. la telah diampuni oleh pemerintah atas segala perbuatannya yang dianggap merugikan negara. Ini terjadi pada bulan Agustus tahun 1971, yaitu setelah menjalani masa-masa dipenjara selama 6 tahun.
Setelah keluar dari penjara, ia dianjurkan untuk menghidupkan kembali majalah Sayyidat Muslimah dengan menjadikan dirinya sebagai direkturnya. la akan menerima kucuran dana sebanyak 300 Pouns perbulan, dengan catatan harus bersedia mengusung kepentingan-kepentingan pihak donatur. la serentak menolak, dan mengatakan bahwa mustahil baginya mendirikan sebuah penerbitan untuk mengusung pemikiran-pemikiran sekuler. la mengatakan pula bahwa penerbitan ini didirikan untuk kepentingan Islam danbukan untuk kesesatan.
Setelah keluar dari penjara ia ingin meneruskan perannya dalam bidang da'wah. la melalui melakukan pengajian-pengajian dan seminar-seminar di Mesir sediri maupun diluarnya.
Adapun negara-negara yang pernah ia kunjungi adalah Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, al Jazair, Turki, Sudan, India, Francis, Amerika, Kanada, Spanyol, dan lain sebagainya.
Suaminya yang berperan sebagai seorang ekonom yang bernama Haji Muhammad Salim meninggal dunia pada tahun 1966 Masehi. Yaitu di saat Zaenab masih berada di dalam penjara. la tak dikarunia seorang anak pun. Namun, ia menganggap bahwa semua anak-anak Islam merupakan anak-anaknya juga.
la sangat memfigurkan seorang Hasan al Bana. la menganggap bahwa di antara orang-orang yang telah mempengaruhi kehidupannya, semisal Hasan al Hudhaibi, Umar al Tilmisani, Hamid abu Nasir, dan Hasan al Bana lah yang paling banyak berpengaruh pada pembentukan jiwa dan sikap hidupnya. Diantara karya-karya tulisnya yang terkenal adalah "Ayyam min Khayati", Nahwa Ba 'su Jadid, Maa Kitabullah, Muskilatu Sabab wa Fatayat."
Referensi:
Muhammad Saa’id Muri, 2003, Tokoh-tokoh besar Islam sepenjang sejarah, Jakarta: Pustaka Al Kaustar.
Mahmud Al Mishri, 2006, 35 Sirah Shahabiyah, Jakarta: Al I’tishom.