Apabila makmum satu orang, maka ia berdiri di sebelah kanan Imam dan sejajar dengan Imam. Ini berdasar atas beberapa hadits. “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Aku pernah salat bersama Nabi saw. pada suatu malam. Lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau, kemudian Rasulullah memegang kepalaku dari belakangku, lalu ia tempatkan aku di sebelah kanannya ....’” (HR Bukhari).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "Nabi saw. pernah berdiri salat, kemudian aku datang, lalu aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku, lantas ia memutarkan aku sehingga ia dirikan aku di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw. Lalu beliau memegang tangan kami dan beliau mendorong kami sehingga beliau mendirikan kami di belakangnya."(HR Muslim dan Abu Dawud).
Hadits dari Jabir juga bermakna apabila makmum dua orang atau lebih, maka makmum berdiri di belakang imam.
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Aku pernah salat di sisi/tepi (‘janban li janbin’) Nabi saw dan Aisyah salat bersama kami di belakang kami, sedang aku (berada) di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, aku salat bersamanya (berjamaah).” (HR Ahmad dan Nasa'i).
Janbun menurut kamus-kamus bahasa Arab artinya: sisi, tepi, samping, sebelah, pihak, dekat. Maka jika “janban li janbin” artinya: sebelah menyebelah, berdampingan, bahu-membahu.
Hadits Ibnu Abbas ini juga menunjukkan bahwa perempuan tempatnya di belakang. Baik yang jadi makmum itu hanya seorang perempuan saja atau campur laki-laki dengan perempuan.
Di dalam kitab Al-Muwattha karangan Imam Malik diterangkan bahwa Ibnu Mas'ud pernah salat bersama Umar. Lalu Ibnu Mas'ud berdiri dekat di sebelah kanan Umar sejajar dengannya.
Diriwayatkan juga bahwa Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Atha' (seorang tabi'in), "Seorang menjadi makmum bagi seorang, dimanakah ia (makmum) harus berdiri? Jawab Atha', "Di tepinya." Ibnu Juraij bertanya lagi, "Apakah si makmum itu harus dekat dengan imam sehingga ia satu shaf dengannya, yaitu tidak ada jarak antara keduanya (makmum dan imam) ?" Jawab Atha’, "Ya!" Ibnu Juraij bertanya lagi, "Apakah si makmum tidak berdiri jauh sehingga tidak ada lowong antara mereka (makmum dan imam)? Jawab Atha', ”Ya.” (Subulus Salam, Jilid 2 hal.31).
Tidak ada keterangan dan contoh dari Rasulullah, yang menunjukkan atau menyuruh makmum apabila seorang diri harus berdiri di belakang imam meskipun jaraknya hanya sejengkal seperti yang dilakukan oleh kebanyakan saudara-saudara kita sekarang ini. ***